Kamis, 22 September 2016

Sejarah Goa Safarwadi (Goa Pamijahan Syeikh Abdul Muhyi)



Biografi  Syeikh Haji Abdul Muhyi
Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/ Kuala untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdul Rauf mendapat ilham kalau diantara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.

Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur Rauf) sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke Kuala/ Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan “Ayu Bakta” putri dari Sembah Dalem Sacaparana.

Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.

Perjalan Mencari Goa Pamijahan 

Disamping untuk membina penduduk, beliau juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini beliau bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, beliau melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, beliau tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
Bila senja tiba, beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama “ Gunung Mujarod' yang berarti gunung untuk menenangkan hati.


Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa. 

Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.


Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw. 
Berikut silsilahnya:
Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.

Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.
Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi". Di sini beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.

Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam.

Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu beliau melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."  

Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Beliau menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.
Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AIQur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari
Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sultan G. Jatijuga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut. 


Dilarang Merokok
 
Pada suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati.
Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa. 

Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.


Pada suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya, kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu. Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri."

Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya.
 

 
 

Sekian Sejarah Goa Safarwadi atau yang lebih di kenal dengan Goa Pamijahan Peninggalan Syeikh Abdul Muhyi.
Mudah-mudahan bermanfaat salam http://seputarpamijahan.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar