Biografi Syeikh Abdul Muhyi,
Sejarah ditemukannya Goa Pamijahan, dan
Sejarah dilarangnya merokok di Pamijahan
Syeikh Haji Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun
1650 M /1071 H dan dibesarkan oleh orang tuanya di kota Gresik/ Ampel.
Beliau selalu mendapat pendidikan agama baik dari
orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Ampel. Karena ketekunannya menuntut
ilmu disertai dengan ibadah disamping kesederhanaan dan kewibawaan yang
menempel di dalam diri beliau maka tak heran jika teman-teman sebaya selalu
menghormati dan menyeganinya.
Silsilah Keturunan Syeikh Abdul Muhyi
Dari ayah:
Ratu Galuh- Ratu Puhun - Kuda Lanjar- Mudik Cikawung
Ading - Entol Penengah - Sembah Lebe Warto Kusumah - Syeikh Haji Abdul Muhyi
Dari Ibu:
Rasulullah saw - Sayyidina Ali karroma Allahu wajhahu
dan Fatimati Azzahro’ - Syaidina Husein - Ali Zaenal Abidin - Muhammad
Al Baqir- Ja'far Ashodiq - Ali AI'Aridhi - Muhammad - Isa Albasyari - Ahmad Al
Muhajir - Ubaidillah - 'Uluwi - Ali Kholi'i Qosim - Muhammmad Shohibul Murobath
-‘Uluwi - Abdul Malik - Abdullah Khona - Imam Ahmad Syah - Jamaludin Akbar -
Asmar Kandi Gisik Karjo Tuban - Ishak Makdhum - Muhammad Ainul Yaqin - Sunan
Giri Laya - Wira Candera - Kentol Sumbirana - Rd. Ajeng Tanganziah - Waliyullah
Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Biografi Syeikh Haji Abdul Muhyi
Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/ Kuala
untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu
dari tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman
sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul
Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka
diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdul Rauf mendapat
ilham kalau diantara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam
ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf
harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk
bermukim di sana.
Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram
tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu
diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur Rauf) sebagai tanda-tanda tersebut.
Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke Kuala/ Aceh
tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik
untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya
untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum berangkat mencari gua,
Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan “Ayu Bakta” putri dari
Sembah Dalem Sacaparana.
Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya
berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan.
Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan
selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di
Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut
menetap di sana.
Perjalan Mencari Goa Pamijahan
Disamping untuk membina penduduk, beliau juga berusaha
untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali
menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau
sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf
adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya
tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak
menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga
berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang,
sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini beliau bermukim selama
1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat
penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda
(Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi
Kali Cikaengan.
Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, beliau
melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan
dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana
selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari,
beliau tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu
yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya beliau turun ke lembah sambil
bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
Bila senja tiba, beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai
keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di
pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi
nama “ Gunung Mujarod' yang berarti
gunung untuk menenangkan hati.
Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang
ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah
sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen
tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak
benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.
Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi,
sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka
dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga
berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana
hasil panen yang pertama. Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu
adanya goa.
Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur,
terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang.
Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang
digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran
Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh
Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama
Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan
adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200
tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung
Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta
santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu
agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.
Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul
Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah
keguruan/ kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw.
Berikut silsilahnya:
Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan,
Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan
Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq,
Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad,
Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid
Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad
(Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka
tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di
dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki
gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa
putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong,
Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.
Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk
dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi".
Di sini beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir
hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu
menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di
Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem
Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya
yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.
Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih
banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar
Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam.
Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi
mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai
tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang
adalah sewaktu beliau melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang
itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan
disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya.
Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu
Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."
Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu
menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai
membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca
untuk memancing? Beliau menjawab, "Basmalah dan Syahadat".
Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.
Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi
juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni
baca AIQur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijaian
untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari
Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul
Patah Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sultan G. Jatijuga Syeikh
Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut.
Dilarang Merokok
Pada suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur
berada di Makkah dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding,
barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah
disepakati.
Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh
Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut
tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk
merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu
semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan
dirinya merasa berdosa.
Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari
Allah, seketika itu kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat
itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan
rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila
berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah Pamijahan
dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.
Pada suatu hari beliau
jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh Abdul Muhyi berpesan
kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri
ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah
kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan
mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun
kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya,
kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu.
Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri."
Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/
1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt.
dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga
saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan
do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah
yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya.